Jumat, 27 November 2009

Kultur organisasi pada Perguruan Tinggi

Mengikuti saran Sharon Jones (dalam Kyrikadou, 2004) untuk memahami kultur organisasi saat ini, studi mengenai kultur organisasi khususnya di perguruan tinggi juga telah dilakukan.
Kultur mencakup tiga level (Schein 1988). Yang paling tampak adalah perilaku dan artifact. Perilaku dan artifact merupakan level yang tampak dari kultur yang mencakup pola perilaku dan manifestasi seperti pakaian, penggunaan teknologi tertentu dan lay out tempat kerja, yang dapat menjelaskan apa yang sedang dikerjakan tapi bukan mengapa hal itu dilakukan. Interpretasi kenapa hal itu dialkaukan dicari pada level berikutnya, yaitu value dan level yang lebih dasar lagi yaitu assumptions and beliefs.
The competing values model (Quinn and Rohrbaugh,1983) dikembangkan untuk menjelaskan perbedaan value yang mendasari efektivitas organisasi. Quinn and Rohrbaugh menemukan bahwa ada tiga dimensi yang memberi kerangka kerja value dalam mewarnai kultur organisasi yaitu :
- Fokus organisasi (penekanan pada manusia atau organisasi)
- Pilihan mengenai struktur (stability and control vs. change and flexibility)
- Process dan outcomes organisasi yang dipentingkan ( means and ends) (Zammuto, F.R. et al1991).

Tipe kultural tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Clan culture yang ditandai dengan fleksibilitas yang tinggi, individualitas dan spontanitas yang sama pentingnya dengan penekanan pada hal-hal internal. Primary leadership style adalah mentor atau facilitator. Adhocracy culture, yang seperti clan culture,menekankan pada fleksibilitas yang tinggi, individualitas dan spontanitas, disertai external positioning yaitu long term time frame dan achievement-oriented activities. Market culture menekankan pada external positioning, long-term frames, dan achievement oriented activities, tapi berbeda dalam penghargaan akan stabilitas, kontrol and predictability. Leadership style adalah tipe producer atau harddriver. Hierarchy culture mirip dengan clan culture yang menekankan internal, short-term oriented dan penekanan pada smoothing activities, serta pada stabilitas, kontrol dan predictability. Leadership style adalah koordinator atau organizer dengan rules dan policies sebagai mekanisme utama untuk mengatur (Smart, J.C. 1996).

Kultur organisasi tidak dapat dipisahkan dari kultur Negara yang bersangkutan sehingga kultur perguruan tinggi tentunya juga dipengaruhi oleh kultur asal perguruan tinggi tersebut. Evangellos Dedoussis (2004) melakukan studi pada empat perguruan tinggi yang berlatarbelakang Arab/Lebanon (Asia dan KPUPM) dan Jepang (Waseda dan AUB). Pilihan studinya didasarkan pemikiran bahwa Arab dan Jepang sama-sama memiliki orientasi kolektif yang tinggi. Analisis pada kebudayaan kedua bangsa ini menunjukkan banyak kesamaan sebagai yang diungkap oleh Hofstede (1991).

Tujuh nilai yang khas Jepang adalah formality, stability, predictability, being rule-oriented, low level of conflict, being team-oriented, tolerance. Sedang lima nilai khas Arab adalah stability, predictability, being careful, being rule-oriented, low level of conflict. Nilai yang tergambar adalah kultur hirarki yang menekankan stability, predictability, enforcement of rules and regulations, formality. Waseda dan KFUPM dan juga Asia menggambarkan pula clan culture karena menekankan nilai security of employment, loyality, low level of conflict dan team-orientation. AUB sendiri lebih mencerminkan market-culture. Dengan demikian kultur yang terbangun bersifat campuran.

Studi lain yang dilakukan oleh R. Niraula, S. Kusayanagi and H. Shima di perguruan tinggi ITC Kamboja, yang dianggap mewakili negara berkembang juga menunjukkan hasil yang serupa yaitu kultur campuran namun lebih mengarah pada clan culture.